Jalan
yang Hilang dalam Kegelapan
Oleh:
Arifatun Umaroh
Tiga
tahun yang lalu aku hidup sebagai seorang anak remaja berusia 16 tahun, Eno
adalah panggilan akrabku. Aku tinggal bersama nenek dan kakek di sebuah desa
yang berada di sudut kota Yogyakarta. Sejak kecil aku tak mengenal siapa kedua
orangtuaku. Setiap kali aku menanyakan tentang siapa orangtua kandungku, kakek
pun selalu menghindar ataupun hanya diam tanpa memandangku sedikitpun. Oleh
karena itu, aku pun tak bisa berbuat apa-apa jika kakek sudah berbuat demikian.
Aku hanya bisa menghela nafas panjang dan beranjak pergi.
“Eno,
cepat kemari”, panggil nenek. “Iya, nek”, jawabku sambil berlari menghampiri
nenek di belakang rumah. “Tolong bawakan kayu bakar ini ke dapur, nenek mau
pergi ke warung sebentar”, kata nenek. “Baik, nek, kalau nenek capek mendingan
nenek istirahat di dalam saja, biar Eno yang pergi ke warung, nenek mau beli
apa?”, kataku sambil membawa kayu bakar. “Ya sudah, taruh dulu kayu bakarnya di
dapur, habis itu kamu pergi ke warung depan beli beras, teh, dan gula pasir”,
ujar nenek. “Baik, nek”, ucapku.
Aku
pun melakukan semua hal itu dengan sepenuh hati. Bagiku nenek seperti ibu,
meskipun aku bukan terlahir dari rahim nenek tapi aku tetap menganggapnya
sebagai ibu yang sangat aku hormati. Hanya neneklah yang bersikap lembut dan
penuh kasih terhadapku. Setelah aku membeli pesanan nenek, aku kembali ke rumah
dan menyerahkan barang belanjaan kepada nenek. Namun, aku sangat terkejut
ketika menemukan tubuh nenek terkulai lemas disamping pintu kamar. Aku pun
menjatuhkan barang belanjaan dan berlari
menghampiri nenek. Aku memapah nenek ke atas tempat tidur dan membantunya
berbaring di atas ranjang. Aku bingung apa yang harus ku lakukan, sementara
kakek belum pulang dari tempat kerjanya.
Wajah
nenek pucat dan nafasnya pun terengah-engah, aku tak kuasa menahan tangis
melihat keadaan nenek. Tanpa pikir panjang aku meminta bantuan tetanggaku untuk
membawa nenek ke puskesmas. Pak Iman yang sedang membetulkan genting atap
rumahnya pun berhenti dan membantuku membawa nenek ke puskesmas. Keberuntungan
tak berpihak kepada nenek, sesaat setelah tiba di puskesmas, nenek
menghembuskan nafas terakhirnya. Aku pun semakin terisak melihat nenekku
meninggal sebelum mendapat perawatan. Hari itu juga nenek dimakamkan di
pemakaman dekat balai desa. Sepeninggalan nenek, aku pun semakin terpuruk
menjalani kehidupan ini. Tak ada lagi orang yang memperhatikanku dan
menyayangiku. Kakek pun semakin acuh terhadapku.
Kini
usia ku 19 tahun, aku pun telah pergi meninggalkan rumah tanpa sepatah kata pun
aku ucapkan kepada kakek. Tepatnya dua tahun semenjak kepergian nenek, aku
semakin lama tidak betah tinggal di rumah bersama kakek yang bersikap dingin
terhadapku. Aku memutuskan untuk meninggalkan rumah dan merantau ke Jakarta.
Sesampainya di Jakarta, aku pun tak tahu pasti apa yang akan aku lakukan, aku
tak tahu harus tidur dimana, makan apa, karna aku tak memiliki uang yang cukup.
Aku pun bertemu dengan seorang pengamen yang bernama mas Dwi. Meskipun mas Dwi
hanya seorang pengamen, namun dia mau menolongku. Aku diajak tinggal bersama
mas Dwi dikostnya.
Sesampainya
di kost mas Dwi, aku pun bercerita tentang kehidupanku di desa. “Kamu masih
beruntung bisa mendapat kasih sayang dari nenekmu, No”, kata mas Dwi setelah
mendengar ceritaku. “Memangnya mas Dwi tidak pernah mendapat kasih sayang dari
orangtua mas?”, tanyaku. “Enggak, ibuku meninggal ketika melahirkanku,
sementara bapakku lebih memilih pergi dengan perempuan lain, dan aku pun
dibuangnya di samping pos ronda”, kata mas Dwi. “Maaf mas, saya tidak bermaksud
mengungkap luka lama”, kataku. “Tidak apa-apa, No, sudah biasa juga kok, sejak
kecil aku tinggal di panti asuhan tapi itu pun tidak lama karena panti asuhan
yang aku tempati kebakaran, kira-kira aku baru usia 7 tahun”, cerita mas Dwi.
“Terus setelah panti kebakaran mas Dwi tinggal dimana?”, tanyaku. “Ya mau
gimana lagi kalau panti sudah habis karena kebakaran, sudah tidak ada tempat
lagi buatku, sejak saat itu aku hidup dijalanan”, jawab mas Dwi. Jam
menunjukkan pukul 23.30 WIB mas Dwi pun menyuruhku istirahat. Aku pun bergegas
berbaring di tempat tidur dan menutup mataku agar terpejam. Lelah yang tak
terkalahkan membuatku cepat terlelap.
Tak
terasa waktu berlalu begitu cepat, satu tahun telah berlalu semenjak aku
tinggal di Jakarta. Aku dan mas Dwi pun masih tinggal bersama di kost yang
sempit dan kumuh. Namun, aku tak pernah menyesal telah mengenal mas Dwi dan
tinggal bersamanya. Berkat mas Dwi juga aku bisa bekerja sebagai penjaga warnet
di dekat pasar tanah abang. Sementara mas Dwi masih asyik dengan profesinya
sebagai pengamen. Selama itu juga mataku terbuka lebar melihat kehidupan yang
keras. Pergaulan bebas pun telah aku jalani, betapa kerasnya mempertahankan
hidup di kota besar ini. Aku tak bisa terlepas dari pergaulan yang sudah
menjalar disetiap sudut kota ini. Setiap hari aku mengkonsumsi alkohol bersama
teman-teman. Aku pun sudah terbuai dengan gaya hidup yang bebas ini. Terlebih
lagi mas Dwi merantau ke Kalimantan bersama teman ngamennya dan kini aku
semakin bebas menjalani kehidupanku. Aku pun enggan untuk pulang ke kampung
halaman, aku tak ingin meninggalkan kehidupanku yang bebas ini.
Semakin
lama aku semakin terjerumus ke jalan yang hitam. Aku tak hanya mabuk-mabukan
saja, namun aku mulai mengkonsumsi ganja. Awalnya hanya coba-coba, tapi
lama-kelamaan membuatku ketagihan. Harga ganja yang mahal pun membuatku mencari
segala cara agar aku bisa mendapatkannya. Aku tak peduli halal dan haram uang
yang kugunakan untuk membeli ganja tersebut, asal aku bisa menghisapnya. Hidupku
semakin tak karuan dan aku pun semakin hancur dalam gelapnya dunia hitam. Mungkin aku sudah gila dengan dunia yang fana
ini. Namun, aku tetap menjalani kehidupanku disini, ya dunia yang hitam dan
sesat ini. Aku tak bisa lepas dari belenggu kehidupan ini. Aku pun tak bisa
pergi meninggalkan semua hal yang telah ku jalani selama ini. Aku hidup saat
ini untuk menjalani apa yang ada dihadapanku saat ini juga. Aku tak peduli
dengan masa laluku ataupun masa depanku kelak.
Aku
tak bisa menggali masa lalu ku dan aku tak bisa menggambarkan masa depanku,
karena hidup adalah saat ini yang aku jalani sekarang ini. Tak ada satu orang
pun yang bisa mengaturku, karena dirikulah yang akan menjalani kehidupan ini
bukan orang lain. Orang lain tak punya hak atas kehidupanku, diriku sendirilah
yang menentukan arah kehidupan. Aku tak peduli dengan semua perkataan orang
yang dilontarkan kepadaku. Aku hanya ingin menjalani kehidupanku yang kelam
ini. Ya, kehidupan yang kelam ini telah membawaku ke dalam sebuah jalan yang
hilang dalam kegelapan. Kegelapan yang entah sampai mana ujungnya, aku pun tak
tahu pasti. Aku hanya mengenal kegelapan dalam menjalani kehidupan saat ini.
Duniaku yang gelap dan jalan yang lenyap dalam pandangan hitamnya.