Kamis, 11 September 2014

Cerpen

Jalan yang Hilang dalam Kegelapan
Oleh: Arifatun Umaroh

Tiga tahun yang lalu aku hidup sebagai seorang anak remaja berusia 16 tahun, Eno adalah panggilan akrabku. Aku tinggal bersama nenek dan kakek di sebuah desa yang berada di sudut kota Yogyakarta. Sejak kecil aku tak mengenal siapa kedua orangtuaku. Setiap kali aku menanyakan tentang siapa orangtua kandungku, kakek pun selalu menghindar ataupun hanya diam tanpa memandangku sedikitpun. Oleh karena itu, aku pun tak bisa berbuat apa-apa jika kakek sudah berbuat demikian. Aku hanya bisa menghela nafas panjang dan beranjak pergi.
“Eno, cepat kemari”, panggil nenek. “Iya, nek”, jawabku sambil berlari menghampiri nenek di belakang rumah. “Tolong bawakan kayu bakar ini ke dapur, nenek mau pergi ke warung sebentar”, kata nenek. “Baik, nek, kalau nenek capek mendingan nenek istirahat di dalam saja, biar Eno yang pergi ke warung, nenek mau beli apa?”, kataku sambil membawa kayu bakar. “Ya sudah, taruh dulu kayu bakarnya di dapur, habis itu kamu pergi ke warung depan beli beras, teh, dan gula pasir”, ujar nenek. “Baik, nek”, ucapku.
Aku pun melakukan semua hal itu dengan sepenuh hati. Bagiku nenek seperti ibu, meskipun aku bukan terlahir dari rahim nenek tapi aku tetap menganggapnya sebagai ibu yang sangat aku hormati. Hanya neneklah yang bersikap lembut dan penuh kasih terhadapku. Setelah aku membeli pesanan nenek, aku kembali ke rumah dan menyerahkan barang belanjaan kepada nenek. Namun, aku sangat terkejut ketika menemukan tubuh nenek terkulai lemas disamping pintu kamar. Aku pun menjatuhkan  barang belanjaan dan berlari menghampiri nenek. Aku memapah nenek ke atas tempat tidur dan membantunya berbaring di atas ranjang. Aku bingung apa yang harus ku lakukan, sementara kakek belum pulang dari tempat kerjanya.
Wajah nenek pucat dan nafasnya pun terengah-engah, aku tak kuasa menahan tangis melihat keadaan nenek. Tanpa pikir panjang aku meminta bantuan tetanggaku untuk membawa nenek ke puskesmas. Pak Iman yang sedang membetulkan genting atap rumahnya pun berhenti dan membantuku membawa nenek ke puskesmas. Keberuntungan tak berpihak kepada nenek, sesaat setelah tiba di puskesmas, nenek menghembuskan nafas terakhirnya. Aku pun semakin terisak melihat nenekku meninggal sebelum mendapat perawatan. Hari itu juga nenek dimakamkan di pemakaman dekat balai desa. Sepeninggalan nenek, aku pun semakin terpuruk menjalani kehidupan ini. Tak ada lagi orang yang memperhatikanku dan menyayangiku. Kakek pun semakin acuh terhadapku.
Kini usia ku 19 tahun, aku pun telah pergi meninggalkan rumah tanpa sepatah kata pun aku ucapkan kepada kakek. Tepatnya dua tahun semenjak kepergian nenek, aku semakin lama tidak betah tinggal di rumah bersama kakek yang bersikap dingin terhadapku. Aku memutuskan untuk meninggalkan rumah dan merantau ke Jakarta. Sesampainya di Jakarta, aku pun tak tahu pasti apa yang akan aku lakukan, aku tak tahu harus tidur dimana, makan apa, karna aku tak memiliki uang yang cukup. Aku pun bertemu dengan seorang pengamen yang bernama mas Dwi. Meskipun mas Dwi hanya seorang pengamen, namun dia mau menolongku. Aku diajak tinggal bersama mas Dwi dikostnya.
Sesampainya di kost mas Dwi, aku pun bercerita tentang kehidupanku di desa. “Kamu masih beruntung bisa mendapat kasih sayang dari nenekmu, No”, kata mas Dwi setelah mendengar ceritaku. “Memangnya mas Dwi tidak pernah mendapat kasih sayang dari orangtua mas?”, tanyaku. “Enggak, ibuku meninggal ketika melahirkanku, sementara bapakku lebih memilih pergi dengan perempuan lain, dan aku pun dibuangnya di samping pos ronda”, kata mas Dwi. “Maaf mas, saya tidak bermaksud mengungkap luka lama”, kataku. “Tidak apa-apa, No, sudah biasa juga kok, sejak kecil aku tinggal di panti asuhan tapi itu pun tidak lama karena panti asuhan yang aku tempati kebakaran, kira-kira aku baru usia 7 tahun”, cerita mas Dwi. “Terus setelah panti kebakaran mas Dwi tinggal dimana?”, tanyaku. “Ya mau gimana lagi kalau panti sudah habis karena kebakaran, sudah tidak ada tempat lagi buatku, sejak saat itu aku hidup dijalanan”, jawab mas Dwi. Jam menunjukkan pukul 23.30 WIB mas Dwi pun menyuruhku istirahat. Aku pun bergegas berbaring di tempat tidur dan menutup mataku agar terpejam. Lelah yang tak terkalahkan membuatku cepat terlelap.
Tak terasa waktu berlalu begitu cepat, satu tahun telah berlalu semenjak aku tinggal di Jakarta. Aku dan mas Dwi pun masih tinggal bersama di kost yang sempit dan kumuh. Namun, aku tak pernah menyesal telah mengenal mas Dwi dan tinggal bersamanya. Berkat mas Dwi juga aku bisa bekerja sebagai penjaga warnet di dekat pasar tanah abang. Sementara mas Dwi masih asyik dengan profesinya sebagai pengamen. Selama itu juga mataku terbuka lebar melihat kehidupan yang keras. Pergaulan bebas pun telah aku jalani, betapa kerasnya mempertahankan hidup di kota besar ini. Aku tak bisa terlepas dari pergaulan yang sudah menjalar disetiap sudut kota ini. Setiap hari aku mengkonsumsi alkohol bersama teman-teman. Aku pun sudah terbuai dengan gaya hidup yang bebas ini. Terlebih lagi mas Dwi merantau ke Kalimantan bersama teman ngamennya dan kini aku semakin bebas menjalani kehidupanku. Aku pun enggan untuk pulang ke kampung halaman, aku tak ingin meninggalkan kehidupanku yang bebas ini.
Semakin lama aku semakin terjerumus ke jalan yang hitam. Aku tak hanya mabuk-mabukan saja, namun aku mulai mengkonsumsi ganja. Awalnya hanya coba-coba, tapi lama-kelamaan membuatku ketagihan. Harga ganja yang mahal pun membuatku mencari segala cara agar aku bisa mendapatkannya. Aku tak peduli halal dan haram uang yang kugunakan untuk membeli ganja tersebut, asal aku bisa menghisapnya. Hidupku semakin tak karuan dan aku pun semakin hancur dalam gelapnya dunia hitam.  Mungkin aku sudah gila dengan dunia yang fana ini. Namun, aku tetap menjalani kehidupanku disini, ya dunia yang hitam dan sesat ini. Aku tak bisa lepas dari belenggu kehidupan ini. Aku pun tak bisa pergi meninggalkan semua hal yang telah ku jalani selama ini. Aku hidup saat ini untuk menjalani apa yang ada dihadapanku saat ini juga. Aku tak peduli dengan masa laluku ataupun masa depanku kelak.

Aku tak bisa menggali masa lalu ku dan aku tak bisa menggambarkan masa depanku, karena hidup adalah saat ini yang aku jalani sekarang ini. Tak ada satu orang pun yang bisa mengaturku, karena dirikulah yang akan menjalani kehidupan ini bukan orang lain. Orang lain tak punya hak atas kehidupanku, diriku sendirilah yang menentukan arah kehidupan. Aku tak peduli dengan semua perkataan orang yang dilontarkan kepadaku. Aku hanya ingin menjalani kehidupanku yang kelam ini. Ya, kehidupan yang kelam ini telah membawaku ke dalam sebuah jalan yang hilang dalam kegelapan. Kegelapan yang entah sampai mana ujungnya, aku pun tak tahu pasti. Aku hanya mengenal kegelapan dalam menjalani kehidupan saat ini. Duniaku yang gelap dan jalan yang lenyap dalam pandangan hitamnya.